Hati Seluas Samudera

5:05 PM 0 Comments A+ a-

Anak perempuan berumur kurang lebih 9 tahun itu bernama Mega. Kami bertemu di bus saat ia dan ibunya berangkat dengan tujuan yang sama denganku. Saat itu aku sedang dalam perjalanan menuju kota Balikpapan, setelah mendapat kabar bahwa suamiku sedang sakit di sana.
Sosok Mega sama dengan anak-anak seusianya. Wajahnya pun terlihat Manis dengan senyum polosnya. Siapa saja yang melihat senyumnya pasti akan tersenyum membalasnya, termasuk aku yang duduk bersampingan dengannya.
Semula aku tidak begitu memperhatikan keganjilan pada sosok Mega, sampai saat Ibunya menceritakan tentang Mega padaku.Mega terlahir tepat pada saat pengangkatan Ibu Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden saat itu. Ayahnya langsung menamainya dengan nama Mega, begitu ia mengetahui bahwa anak yang dilahirkan istrinya adalah seorang bayi perempuan.
Tidak banyak perbedaan mencolok ketika Mega masih berusia bayi dengan bayi-bayi lainnya. Tingkah lakunya pun tetap lincah sampai menginjak balita. Namun, ada sedikit perbedaan yaitu Mega jarang sekali berbicara. Dan hal itu akhirnya menjadi salah satu tanda yang membuat perbedaan itu semakin mencolok.
Semakin bertambah umur, kemampuan komunikasi Mega bisa dikatakan sangat minim. Sang Ibu pun agak kerepotan mengurusnya, karena di tambah dengan sikap Mega yang tidak bisa mandiri.
“Saya tidak tega melepas Mega kemana-mana, bu,”ujar sang Ibu kepadaku,”kondisinya seperti ini, kemana-mana tergantung sama saya. Saya tidak ingin merepotkan orang lain juga.”
Sang Ibu berbicara dengan nada tegar. Aku terenyuh mendengarnya.
“Selama ini Mega sudah berobat, bu?” tanyaku dengan hati-hati karena takut menyinggung perasaannya.
“Saya sudah bawa berobat kemana-mana, bu. Tapi ya kami ini orang miskin, jadi ya susah juga. Walaupun pakai askes orang miskin untuk berobat, tapi tetap saja tidak sanggup menanggung biayanya”, kata sang ibu sambil menerawang,”sampai pernah bu, saya pergi berobat hanya pegang uang untuk ongkos angkot pulang pergi saja”.
“Sekarang Mega sekolah, bu?”
“Sudah sekolah, bu. Tapi sekolah di SLB (Sekolah Luar Biasa).”
“SLB?”tanyaku kembali kurang yakin.
Aku mengernyitkan dahi. Tidak kutemukan satu pun kekurangan fisik pada tubuh Mega. Karena setahuku, SLB itu di khususkan untuk anak-anak dengan kekurangan salah satu panca indra, bukan untuk anak dengan kebutuhan khusus seperti Mega ini.
“Kami hanya sanggup memasukkan Mega di SLB. Ya syukurlah, sejak sekolah di SLB, Mega sudah bisa berbicara lumayan dari sebelumnya. Misalnya kalau lapar, ia sudah bisa bilang mau makan, bu .” lanjut ibu itu lagi sambil tersenyum.
Aku kembali terenyuh mendengarnya. Seandainya saja saat itu aku di berikan kelebihan materi yang berkecukupan untuk membuat sebuah sekolah yang diperuntukan untuk anak-anak seperti Mega yang berkebutuhan khusus, sudah barang tentu dengan tangan terbuka aku akan membantunya. Namun, hal itu masih menjadi sebuah impian yang sedang aku rintis bersama suami. Tapi aku yakin impian itu akan terwujud, dan anak-anak seperti Mega dapat menikmati pendidikan sesuai dengan kebutuhan khususnya.
“Mega mau roti?” kataku sambil menawarkan roti yang tinggal separuh yang kusiapkan dari rumah orang tuaku tadi.
Sekilas Mega melirik kearah Ibunya untuk meminta persetujuan. Sang Ibu pun mengangguk ke arahnya. Dengan malu-malu, ia menerima roti dariku.
Alhamdulilah, batinku. Setidaknya aku bisa berbagi roti yang kubawa dari rumah dengannya. Roti itu sebagai awal persahabatan kami. Dan aku yakin, kelak aku akan bertemu kembali lagi dengannya di lain desempatan yang tidak terduga seperti saat ini.
Allah memberikan kekuatan dan kesabaran yang sangat luar biasa bagi sang Ibu lewat perjuangannya mendidik Mega.
Sepintas aku kembali teringat akan Arya dan Raisyah, buah hatiku yang saat itu kutitipkan pada orang tua ku di Samarinda. Tadi pagi sebelum naik bus menuju Balikpapan, aku sempat membentak Arya karena menangis sambil merengek ingin ikut ke Balikpapan menjenguk papanya.
Aku benar-benar malu dengan ibu itu. Kesabarannya dalam mendidik Mega dengan kebutuhan khusus benar-benar mengusik perasaanku sebagai seorang Ibu yang selama ini lebih banyak tidak bisa mengontrol emosi dan amarah bila menghadapi anak.
“Selanjutnya apa yang ingin ibu lakukan pada Mega?”tanyaku lagi.
“Ibu cuman ingin ia bisa mandiri, mba. Karena bila saya sama bapaknya sudah meninggal, siapa lagi yang bisa mengurus dia selain dirinya sendiri”.
Aku terdiam. Benar-benar permintaan sederhana dari seorang Ibu yang memiliki hati dan kesabaran seperti Ibunya Mega. Aku bisa merasakan cinta dan kasih sayang yang tulus dari sang Ibu dari setiap kata maupun belaian sayangnya kepada Mega.
Mudah-mudahan Allah memberikan jalan yang terbaik untuk Mega dan Ibunya dalam kehidupan ini. Dan hidayahkan rejeki dan petunjuk-Mu kepada sang Ibu yang memiliki hati seluas samudera itu… Amin…