Novel Gampiran : Ketika Alam Terusik Keserakahan Manusia
Judul : Gampiran (Takdir Munita)Penulis : Inni Indarpuri
Penerbit : Kalika
Halaman : 208
Tahun : 2012
Tidak banyak buku novel saat ini yang mengangkat tema mengenai kearifan lingkungan yang di padu dengan lokalitas daerah setempat. Novel Gampiran (Takdir Munita), karya Inni Indarpuri adalah satu dari sedikit novel yang masuk dalam kriteria tersebut.
Inni Indarpuri merupakan penulis yang beberapa karyanya kerap mengangkat lokalitas daerah yaitu Kaltim. Sebut saja novel Di antara Dua Cinta yang mengambil latar daerah dayak. Serta novel Gampiran yang mengambil insprasi latar sebuah daerah di Kaltim yang dijadikan tempat pertambangan.
Di kisahkan mengenai Munita yang selama delapan belas tahun terpisah hidup dari kembarannya, monika. Walaupun dilahirkan kembar, namun mereka berdua berbeda wujud. Monika dilahirkan sebagaib anak manusia yang cantik dan rupawan. Namun tidak dengan Munita, yang dilahirkan dalam bentuk buaya putih.
Karena berbagai alasanlah, sang ibunda memisahkan kehidupan keduanya sedari kecil. walau begitu, sang ibu tetap mencintai Munita dalam bentuk apapun sebagai darah dagingnya.
Munita selama ini hanya mengenal kehidupan di kedalaman sungai. Ia hidup bersama Buyan, buaya lelaki yang dianggap gagah perkasa. Serta paman Riu, seekor naga yang telah bersemedi ratusan tahun dan dianggap sebagai keluarganya sendiri.
Takdirlah yang akhirnya membawa Munita kembali ke kampung Sangta, kampung asalnya. Awalnya kampung Sangta merupakan kampung yang dipenuhi oleh kekayaan sumber daya alam. Manusia memanfaatkan alam untuk pemenuhan hidupnya secara baik. Kehidupan mansia dan makhluk lainnya saling menghormati dan tidak menganggu satu sama lain. Begitu pula yang terjadi pada manusia dan buaya yang tinggal di daerah tersebut. Adanya sebuah perjanjian hulu dan hilir yang menjadi batas terotial yang saling di hormati.
Semakin berjalannya waktu, kampung Sangta mengalami banyak perubahan. Manusia tidak lagi menghormati alam sepeti dulu. Sebagian dari mereka bahkan menjadi serakah dan mengekaploitasi alam secara besar-besaran. Dikampung asal Munita yang dulunya asri menjadi berubah dengan pengerukan emas hitam yang dilakukan besar besaran. Dermaga pengangkut tambang menghancurkan jajaran pohon bakau dan tanaman nipah yang selama ini tumbuh di pinggir sungai.
Munita merasa habitat yang ada akan terancam keberadaanya. Terlebih ada pula Tuan Mor dan Tuan Hisyam yang dengan berbagai cara licik ingin membunuh ketururan buaya jadi-jadian. Tuan Hasyim dengan serakah ingin menguasai pertambangan di daerah tersebut termasuk ingin menjadi pemimpin kampung Sangta.
Disisi lain, Mereka kuatir keturunan buaya tersebut akan menuntut balas dendam karena mereka telah melanggar perjanjian hulu dan hilir. Karena itu dengan segala cara mereka mencoba membunuh buaya yang ada.Munita pun seolah tersadar oleh takdirnya sendiri. Ia pun kembali ke kampung asalnya untuk menyelamatkan kampungnya dari kehancuran dan keserakahan.
Kisah Novel ini memang sarat dengan pesan moral yang cukup kuat dan tentu saja di bumbui kisah romantis percintaan . Begitu pula tergambar jelas bagaimana kasih sayang sang ibu kepada anaknya yang tidak mungkin terlupakan begitu saja.
Ketika manusia dengan serakah megeksploitasi alam tanpa memikirkan habibat mahluk lainnya, manusia itu bisa jadi akan mendapatkan balasannya. Bagaimana pun juga kita tetap harus menjaga kearifan lingkungan untuk kepentigan mahluk hidup bersama.
Catatan :
Novel Gampiran ini Pernah saya angkat sebagai salah satu literatur materi yang saya bawakan pada seminar kesastraan di Kaltim.