Catatan dari Talkshow Sastra dan Launching Buku Simfoni Bilqis
Catatan dari
Talkshow Sastra dan Launching Buku Simfoni Bilqis
Oleh : Tri Wahyuni
Zuhri, SP
(
Koordinator IIDN Bontang,
Koordintor
MACIBAKU Bontang, Studio Kata)
Beberapa
waktu yang lalu tepatnya tanggal 29 November 2012, saya berkesempatan
menghadiri acara Talkshow sastra serta launching buku Simfoni Balqis. Acara
tersebut digagas oleh Buku Etam, yaitu Komunitas Pencinta Buku dan Perpustakaan
bekerjasama dengan Badan Perpustakaan Provinsi Kalimantan Timur serta PPI
(Persatuan Pelajar Indonesia) di Yaman.
Acara
yang berlangsung di gedung Provinsi Perpustakaan Kaltim, menjadi sangat menarik
karena menghadirkan tiga pembicara yang berkompeten dalam bidangnya. Pembicara
pertama, Korrie Layun Rampan, sastrawan
asal Kaltim yang namanya sudah dikenal secara nasional. Pembicara kedua yaitu
Erni Suparti Morgan, penulis yang juga berprofesi sebagai Dosen Fakultas Ilmu
Bahasa, serta Dhenok Pratiwi, jurnalis
dan cerpenis Kaltim. Sedangkan acara
dipandu oleh moderator yaitu Amien Wangsitalaja, yang juga menjabat sebagai ketua
Buku Etam.
para pembicara, moderator dan penulis buku simpony bilqis |
Talkshow
sastra tersebut mengangkat tema mengenai Fenomena Cerita Mini dalam Sastra Indonesia.
Tema tersebut terkait dengan buku Antologi Simponi Balqis yang dilauncing pada
hari tersebut. Buku Simponi Balqis sendiri merupakan buku yang di gagas oleh
Persatuan Pelajar Indonesia di Yaman. PPI mengadakan sayembara Cerita Mini
Internasional (SCMI) PPI Yaman periode 2011-2012. SCMI merupakan ajang pena yang digelar untuk
memperebutkan Master Of Writer Internation melalui jejaringan sosial. Dari lomba tersebut, dipilih 100 kisah mini
untuk dibukukan yang di bagi menjadi dua bagian buku.
Banyak
hal yang menarik di sampaikan oleh ketiga pemateri terkait mengenai kesastraan
di Indonesia, khususnya mengenai fenomena cerita mini atau sering di sebut
dengan fiksi mini. Selama ini masyarakat
lebih banyak menganggap suatu cerita fiksi sebagai tulisan-tulisan
panjang. Dimana di dalam unsur cerita
tersebut terdapat bagian awal, tengah dan akhir. Serta memenuhi syarat berupa plot, karakter
tokoh, setting, konflik. Namun ternyata
hal itu bisa pula tersirat dalam fiksi mini.
Bila dahulu ada yang berpendapat karya fiksi mini terbatas pada jumlah
kata-kata di dalamnya. Bisa jadi empat sampai sepuluh kata, satu
paragraf, atau bahkan 50 sampai 100 kata.
Atau bahkan banyak pendapat yang mengatakan hal yang berbeda mengenai
batasan jumlah katanya.
Walaupun
begitu, ternyata fiksi mini mendapatkan apresiasi tersendiri bagi
masyarakat. Masyarakat tidak lagi
mengotak-ngotakan fiksi dengan tulisan-tulisan panjang dengan syarat
tertentu. Hal ini terlihat jelas dengan
bagaimana perkembangan sastra itu sendiri di Indoensia. Bahkan di negara luar, fiksi mini pun bukan
menjadi hal yang baru. Misalnya saja di
Perancis, fiksi mini ini di sebut dengan nouvelles
dan di beberapa negara menyebutnya dengan flash
fiction.
Hal
yang menarik perhatian, ternyata pertumbuhan fiksi mini khususnya di Indonesia,
berkembang baik di dunia jejaring sosial seperti twitter maupun facebook. Saya secara pribadi sering mendapatkan
informasi mengenai informasi serta
perlombaan menulis facebook. Tentu saja hal ini menambah menarik
karena begitu tingginya minat masyarakat untuk mengenal serta mengapresiasikan
kreativitasnya melalui fiksi mini.
Dalam
2 jilid buku Simponi Balqis pun memuat
100 kisah mini ditulis oleh penulis yang tidak hanya berasal dari
Indonesia tetapi dari beberapa negara di belahan dunia. Antara lain Rusia,
Perancis, Mesir, Moroko, Malaysia, Yaman, Hongkong dan sebagainya. Dari Kalimantan Timur sendiri ada 3 nama
penulis yang masuk dalam buku tersebut. Tentu hal ini membanggakan bagi dunia
penulisan di Kaltim. Sebut saja Imam Dairoby, penulis asal Samarinda dengan tulisannya
berjudul Harga Sebuah Kejujuran. Nurul Kholidah, dari Berau dengan judul
tulisan Empat Lelaki Buruk Rupa.
pembicara Erni suparti, bersama Irma dan Imam |
Terakhir
yaitu Irmayana, penulis asal Samarinda
dengan dua kisah mininya dimuat di buku ini.
Kedua kisah itu berjudul Talk Less, Do More dan Sepotong
Brownis. Kisah Sepotong Brownis ini
cukup menarik, selain mengambil setting di Kota Samarinda, kisah ini menceritakan tokoh bernama Ita yang sering
mengalami konflik dengan ibunya. Ada saja hal-hal yang membuat mereka
berselisih paham. Hingga suatu hari ,
ketika Ita mencoba mencari ketenangan
dengan kabur dari rumah, Ita bertemu
dengan seorang perempuan yang tidak di kenal
menawarkan sepotong brownis padanya.
Dialog sederhanapun terjadi diantara keduanya. Ita pun membandingkan kebaikan perempuan yang baru
dikenalnya dengan ibu kandung
dengannya. Dengan bijak, perempuan
tersebut mengingatkan bahwa tawaran brownis baru kali ini ia berikan pada Ita. Bisa jadi sang Ibu telah membuatkan ratusan
brownis untuk Ita.
Dari
kisah mini sepotong brownis ini, penulis mencoba menyisipkan pesan moral kepada
pembaca. Terkadang sebagai seorang anak,
suatu ketika kita sering merasa tidak disayangi atau di perhatikan oleh orang
tua. Bahkan kita kerap membandingkan
kebaikan orang lain kepada kita. Jarang
sekali kita menghitung berapa banyak kebaikan yang telah orang tua lakukan
selama ini.
Demikian
pula dengan puluhan kisah mini dalam buku Simponi Balqis lainnya. Walaupun kisah tersebut tidak di tulis secara
panjang lebar, namun tetap bisa memberikan pesan yang ingin di sampaikan para
penulis untuk pembacanya. Semoga dengan
adanya fenomena cerita fiksi mini ini, dapat menambah kekayaan kesastraan
Indonesia, khususnya di Kalimantan Timur. Amin…