Cerpen : Dari Balik Jendela Anya
"Pasti sebentar lagi lelaki itu akan keluar dari rumah untuk berangkat kerja,"guman Anya sendiri sembari mengalihkan
pandangan ke luar jendela kamarnya.
Benar saja. Sosok lelaki muda keluar dari pintu rumah depan, tepat di berhadapan dengan rumah Anya. Anya menahan nafas sejenak, berharap lelaki muda itu tidak mengetahui kalau ia sedang di perhatikan.
Tapi terlambat! Lelaki itu tersenyum ke arah Anya, tepat menembus kaca jendela kamar Anya. Anya gelagapan dan spontan menutup tirai jendela kamarnya.
"Oh, Tuhan!" Desah Anya perlahan sembari memegang dadanya yang berdegup tidak karuan. Rutinitas tiap pagi mengintip lelaki itu akhirnya ketahuan juga.
*****
Anya tidak ingat sejak kapan suka memandangi keadaan dari balik jendela kamarnya. Mungkin dua atau tiga bulan yang lalu tepatnya. Ia betah berlama-lama memandangi luar jendela sembari mencari inspirasi menulis.
Semua bermula dari sakit syaraf tulang belakang yang di derita Anya. Rasa sakit dan nyeri itu membuat Anya lebih banyak melakukan aktifitas di atas ranjang. Kemungkinan untuk sembuh pun perlu waktu dan proses lama.
Sebenarnya dokter syaraf yang menangani Anya, menyarankan Anya di rawat di rumah sakit agar lebih di rawat intensif. Namun, Anya menolaknya.
Anya lebih memilih istirahat di rumah. Walaupun dengan konsekwensi membawa sekantong penuh obat dari resep dokter.
Kedua orang tua Anya pun tidak mau memaksa Anya. Mereka sudah sangat bersyukur, Anya tetap tenang dan tidak stress dengan kondisi fisiknya sekarang. Bahkan Anya masih terus melakukan aktifitasnya menulis.
"Ayah, Anya mau ranjang tidur Anya di pindah ke dekat jendela kamar," kata Anya kepada ayahnya.
"Mengapa dipindah?" Tanya Ayah sambil mengernyitkan dahi tidak mengerti.
"Biar Anya tidak bosan. Jadi Anya bisa memandang keadaan di luar rumah. Siapa tahu semakin banyak ilham untuk menulis ,"sahut Anya tersenyum.
Ayah Anya hanya terdiam. Sebagai seorang ayah, ia tahu bagaimana perasaan hati anak gadisnya. Tidak mudah menerima kondisi fisik yang mengharuskan Anya berbaring terus di tempat tidur. Namun Anya selalu bersikap kuat dan ceria di hadapan siapa saja.
"Nanti ayah minta mang Ujang untuk membantu memindahkan ranjang Anya, ya,"kata ayah di
iringi senyuman Anya.
iringi senyuman Anya.
Lelaki muda itu mencuri perhatian Anya. Padahal baru satu lelaki itu tinggal di rumah kontrakan depan rumah Anya. Anya tidak tahu siapa nama lelaki itu. Yang jelas lelaki itu cukup tampan dan memiliki senyum yang menawan.
Ah, memandangi lelaki itu dari balik jendela sungguh menimbulkan sensasi berbeda di diri Anya. Kehadiran lelaki itu tidak hanya mempesona, tetapi menumbuhkan berbagai inspirasi. Anya merasakan kepalanya penuh inspirasi dan imajinasi untuk bahan tulisannya.
Anya tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Apakah ini berarti ia sedang jatuh cinta, ataukah hanya sekedar mencari kamuflase di tengah kondisi sakitnya saat ini.
Anya tidak mau meraba-raba terlalu jauh apa maksud hatinya. Anya cukup tahu diri untuk mengagumi saja. Rasanya tidak mungkin ada lelaki yang mau menerima kondisinya seperti ini.
Anya kembali teringat dengan Hadi, mantan tunangannya. Hadi secara sepihak memutuskan pertunangan setelah melihat kondisi sakit Anya. Dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal yang di ajukan Hadi, Anya hanya bisa menerima keputusan itu dalam diam.
Sungguh, Anya tidak cukup mempunyai keberanian dan kepercayaan diri untuk kembali dekat dengan lelaki. Baginya, semua lelaki sama, selalu memandang perempuan dari segi fisik. Ya, itu semua berlaku bagi semua lelaki, kecuali untuk ayah dan mas Aryo, kakak kandungnya. Dua lelaki yang selalu ada dalam hidupnya.
"Biarlah lelaki itu hadir sebagai inspirasiku menulis saja," guman Anya dalam hati.
****
"Anya dapat salam dari Rayhan,"kata mas Aryo tiba-tiba mengagetkan Anya. Anya masih mengetik dra di depan laptopnya, untuk draft novel terbarunya, saat mas Aryo masuk ke kamarnya.
"Rayhan siapa?"tanya Any bingung.
"Tetangga baru kita. Dia teman mas Aryo waktu kuliah di Malang,"jawab mas Aryo tanpa di tanya.
Anya terdiam sejenak. Nama lelaki itu ternyata Rayhan.
"Dia penggemar tulisanmu. Dia bahkan mengoleksi buku-buku karyamu. Anaknya baik,"lanjut mas Aryo kembali.
"Lalu maksudnya apa?"tanya
"Sepertinya Rayhan ingin mengenalmu lebih dekat," lanjut mas Aryo dengan hati-hati, sembari memperhatikan raut wajah Anya.
"Aku tidak ingin terlalu berharap, mas. Rasanya terlalu sakit kalau kecewa lagi," keluh Anya.
"Tidak semua lelaki brengsek seperti mantan tunanganmu itu. Masih banyak laki-laki baik di dunia ini," nada bicara mas Aryo sedikit meninggi. Sungguh, ia tidak ingin adiknya di sakiti kembali.
"Setidaknya beri Rayhan kesempatan untuk mengenalmu,"harap mas Aryo .
"Kita lihat saja nanti, mas," jawab Anya sekenanya.
*******
Rayhan gelisah. Sudah dua hari ini, Rayhan tidak melihat tirai jendela kamar Anya terbuka. Sedang apa Anya saat ini? Apakah Anya tidak tahu, aku pun selalu memperhatikannya dari balik jendela kamarku? Rayhan mendesah dalam kegalauan.
Keputusan Rayhan untuk pindah kontrakan ke depan rumah Anya, bukan tanpa alasan. Rayhan sudah mengagumi Anya sejak dulu. Karya-karya Anya yang begitu bersahaja telah memikat hatinya.
Rayhan tidak pernah menyangka, penulis pujaannya ternyata adik dari Aryo, teman kuliahnya dulu.
Rayhan tidak pernah menyangka, penulis pujaannya ternyata adik dari Aryo, teman kuliahnya dulu.
Dari Aryo pula, Rayhan tahu bagaimana Anya harus menjalani hari-harinya di tempat tidur. Diam-diam, Rayhan melakukan hal yang sama dengan Anya. Rayhan kerap memperhatikan Anya dari balik jendela kamarnya.
Rayhan bisa mengagumi kelembutan wajah Anya. Bahkan Rayhan mengamati mimik wajah serius Anya saat sedang mengetik tulisan di depan laptopnya. Atau saat Anya terlihat bahagia, ketika ada teman dan keluarganya yang datang membesuk.
Rayhan bertambah kagum dengan sosok Anya. Walaupun hanya berbaring di tempat tidur, tetapi Anya bisa melakukan berbagai hal yang positif. Rayhan tidak mempermasalahkan kondisi fisik Anya sekarang. Cinta Rayhan begitu tulus dan suci.
"Aku menyukai adikmu. Ijinkan aku mengenal Anya lebih jauh," kata Rayhan hari itu kepada Aryo.
Aryo menatap Rayhan dengan tajam, mencari kejujuran di mata Rayhan. Ya, mata Rayhan tidak berbohong. Aryo mengenal cukup baik Rayhan saat mereka sama-sama kuliah dulu.
"Aku ijinkan. Asalkan jaga hati dan perasaannya. Anya adikku satu-satunya,"jawab Aryo dengan iklas. Ia sadar, beban di pundaknya sudah berkurang. Anya sudah berada di lelaki yang tepat.
Rayhan mengangguk menyakinkan Aryo
Rayhan mengangguk menyakinkan Aryo
******
Rayhan, lelaki itu datang berkunjung ke kamar Anya di temani mas Aryo. Anya merasakan hatinya berdegup dengan kencang. Tetapi ia berusaha untuk bersikap biasa saja.
Mas Aryo cukup tahu diri. Setelah memperkenalkan Rahyan kepada Anya, mas Aryo pun meninggalkan mereka berdua.
Setelah dua minggu hanya bisa memandang Rayhan dari balik jendela, hari ini Anya bisa langsung bertemu dengannya.
"Aku bawa beberapa bukumu. Tolong di tanda tangani ya,"kata Rayhan memecah kebekuan di antara mereka.
Anya cukup terkejut , saat Rayhan menyodorkan novel-novel karyanya. Ternyata Rayhan mengoleksi lengkap semua novel Anya.
"Bolehkan kalau aku bertanya tentang novelmu? Ada banyak pertanyaan di kepalaku untuk novel-novel ini,"kata Rayhan sembari tersenyum.
"Silahkan saja. Dengan senang hati aku akan menjawabnya,"sahut Anya setenang mungkin.
"Ehhmm.. berarti pertemuan kita tidak hanya hari ini kan? Pasti akan mengasyikan berdiskusi dengan Anya setiap ada waktu," sergah Rayhan penuh harap.
Anya menangguk pelan. Ada harapan yang sama dalam hatinya. Setidaknya Anya tidak perlu lagi mencuri-curi pandang dari balik jendela untuk melihat Rayhan. Setiap saat Anya bisa bertemu dengan Rayhan secara langsung.