Ternyata bayangan saya tersebut berbeda dengan penjelasan dokter Rudy. Beliau menjelaskan iodine 131 yang di produksi BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional) memang digunakan untuk bidang medis, khususnya pengobatan gangguan tyroid, salah satunya kanker tyroid. Penggunaan iodine ini pun sesuai prosedur dan dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran nuklir. Sayangnya, terapi radiasi nuklir hanya ada di beberapa rumah sakit yang memang memiliki fasilitas kedokteran nuklir. Antara lain RS. Dharmais Jakarta, RS. Hasan Sadikin Bandung, RS. Dr. Soetomo Surabaya, RS MRCCC Siloam Jakarta dan beberapa rumah sakit lainnya.
Sebenarnya terapi kemoterapi bisa dilakukan sebagai pengganti terapi radiasi interna. Namun efektifitas kemotrapi untuk pengobatan tyroid masih tidak sebanding dengan terapi radiasi interna. Penjelasan tersebut membuat saya sedikit berlega hati. Walaupun dalam benak saya berfikir, mudah-mudahan suatu saat Kaltim yang merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia memiliki fasilitas radiasi internal seperti rumah sakit besar lainnya. Sehingga masyarakat yang menngalami gangguan tyroid seperti saya, bisa lebih mudah mengaskses proses pengobatan tersebut.
Berkunjung ke Kedokteran Nuklir Hasan Sadikin
Sembari menunggu waktu untuk dilakukan jadwal operasi tyroid, saya menyempatkan diri datang ke RS. Hasan Sadikin Bandung. RS Hasan Sadikin merupakan pusat rujukan nasional pelayanan kedokteran nuklir dan satu-satunya pusat pendidikan spesialis kedokteran nuklir di Indonesia. Saya pun melakukan konsulatasi dengan salah satu dokter spesialis kedokteran nuklir disana. Beliau memberikan informasi lengkap seperti yang dokter Rudy Tharby berikan. Iodine 131 pun di manfaatkan pula oleh pasien gangguan hipertyroid maupun hipotyroid. dan memang efektifitasnya cukup teruji untuk menunjang kesembuhan pasien.
Selain itu saya pun sempat melakukan pemeriksaan sidik tyroid dengan menggunakan kamera SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography) untuk mendiagnosis tyroid. Ada banyak pasien saat itu yang akan konsultasi sekaligus pemeriksaan sidik tyroid. Rata-rata mereka bukan hanya berasal dari Bandung, tetapi kota-kota lain. Bahkan ada pula yang berasal dari luar daerah seperti saya.
Namun bagi pasien yang ingin melakukan radiasi interna, biasanya dilakukan sesuai waktu yang telah di jadwalkan oleh pihak kedokteran nuklir. Hal ini dikarenakan begitu banyak pasien yang ingin melakukan radiasi interna ini, hanya saja tergantung dengan kapasitas ruangan, penyediaan bahan dan lain sebagainya. Sehingga perlu bersabar mengantri dalam waktu yang sudah di jadwalkan.
Sedikit melihat ke arah sejarah kedokteran nuklir. Sebenarnya pelayanan kedokteran nuklir dimulai sejak tahun 1965 di Indonesia. Pelayanan ini di lakukan tidak lama setelah reaktor atom pertama diresmikan oleh Presiden Soekarno. Salah satu perintisnya adalah Prof. Dr. Johan S. Masjhur, dr., SpPD-KEMD., SpKN yang merupakan Guru Besar ahli Kedokteran Nuklir Fakultas Kedokteran (FK) Unpad.
Namun ternyata, perkembangan kedokteran nuklir ini sangat lambat dikarenakan berbagai faktor. Antara lain kurangnya informasi tentang kedokteran nuklir ini di indonesia, disamping masih banyaknya ketakutan tentang radiasi nuklir ini. Belum lagi alat yang digunakan sangat mahal yaitu kamera SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography) dan PET (Positron Emission Tomography) yang kini direkayasa menjadi SPECT/CT dan PET/CT, serta alas an lainnya.
Selama di Bandung, saya pun berkesempatan bertemu dengan Prof. Dr. Johan S. Masjhur. Tentu saja kesempatan itu tidak saya sia-siakan. Saya banyak bertanya kepada beliau mengenai penyakit kanker tyroid dan tentu saja mengenai radiasi nuklir. Ternyata prof Johan merupakan pribadi baik yang sangat ramah dan terbuka. Beliau dengan senang hati menjelaskan pertanyaan-pertanyaan saya.
Dengan penjelasan beliau, membuat saya lebih yakin dan bersemangat menjalani pengobatan selanjutnya.
Berkenalan dengan Radiasi Interna Nuklir
Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, pasca operasi pengangkatan tyroid, maka saya bersiap-siap melakukan terapi ablasi radiasi nuklir. jarak waktu pelaksanaan radiasi, biasanya paling cepat 1 bulan setelah operasi berlangsung. Pelaksanaan radiasi interna atau radiaktif nuklir ini hanya di lakukan di beberapa rumah sakit besar yang khusus tersedia instalasi kedokteran nuklir. Sehingga sangat di maklumi, bila untuk melakukan radiasi interna ini biasanya para pasien harus sabar menanti daftar tunggu yang cukup lama.
Terlebih untuk menyediakan bahan Iodine 131 ini tidak bisa langsung di dapat dengan mudah. Pihak Rumah sakit harus memesan khusus pada BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional). Karena itu disarankan untuk segera mencari tahu informasi jadwal di rumah sakit tersebut untuk melakukan radiasi interna. Biasanya kita dapat menghubungi rumah sakit bersangkutan melalui telpon ataupun datang langsung.
Disamping itu pasien bisa mendapatkan informasi mengenai radiasi interna dari Dokter yang menanganinya, ataupun dari pengalaman orang-orang yang pernah menjalani radiasi ini. Selama menjalani pengobatan dan persiapan melakukan radiasi interna, saya aktif mencari informasi dari berbagai sumber.
Bagaimana pun pula salah satu hal yang harus di lakukan pasien adalah aktif mencari informasi mengenai penyakit di deritanya. Pasien tidak bisa hanya berdiam diri, karena bagaimana pun juga pengobatan penyakit khususnya kanker merupakan salah hal yang harus diprioritaskan. Kita tidak pernah tahu bagaimana cepatnya sel-sel kanker menggerogoti tubuh seiring berjalannya waktu.
Beruntung para dokter yang menangani saya, yaitu Dr. Rudy Tharby, Dr. Yasser Ridwan, dan Dr. Astried Indrasari sangat baik dan tidak segan-segan memberikan informasi yang saya butuhkan. Bagaiaman pun pula dokter merupakan sahabat dari pasien. Sehingga sebagai pasien harus bisa menjaga komunikasi dengan baik kepada dokter yang menanganinya. Inni Indarpuri, salah satu sahabat saya, mengenalkan saya dengan Bapak Mukhransyah, seorang survivor kanker sekaligus aktif di YKI Kaltim. Saya beruntung berkenalan dengan Bapak Mukhransyah, karena selain survivor kanker tyroid, beliau mengedukasi saya mengenai kanker. Beliau pun menulis sebuah buku berjudul Tak Mau Kalah, buku yang berisi pengalaman beliau dan para survivor melawan kanker.
Saya pun berkenalan dengan Ibu Mega dan Ibu Dewi Yulita dari CISC (Cancer Information & Support Center) sebuah komunitas support kanker yang berbasis di Jakarta. Dari mereka berdua, saya berdiskusi sekaligus diberikan motivasi untuk menghadapi kanker.
(BERSAMBUNG)
Pengalaman radiasi interna ini bisa di baca di :
(klik langsung di link di bawah ini)
(klik langsung di link di bawah ini)
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete